Saturday 10 March 2012

Tentang Tembang Sunda Cianjuran

Terimakasih atas kunjungan anda



Tembang Sunda Cianjuran atau Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834-1862). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Dalem Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat  abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal itu erbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Emeh Salamah, Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.

Sebelumnya mamaos hanya dibawakan oleh pria, pada awal tahun 1900-an baru munculah juru mamaos wanita. Juru mamaos wanita pertama yang tertulis dalam sejarah tembang sunda cianjuran adalah Emeh Salamah yang juga merupakan guru dari Rd Siti Sarah. Dalam setiap penampilannya Emeh Salamah dipirig oleh juru kacapi yang bernama Barna. Mungkin saja awalnya Emeh Salamah sebagai sinden, seperti lagu ciptaannya dalam wanda gamelan yang masih sering lantunkan sampai saat ini oleh para sinden yaitu lagu kulu-kulu bem. Setelah mempelajari mamaos, Emeh Salamah menciptakan Gandrung Gunung yang digunakan sebagai panambih. Setelah Emeh Salamah munculah Rd Siti Sarah, dalam setiap penampilannya ia dipirig oleh Mang Ohim juru kacapi tuna netra.

Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.

Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864-1910)  kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920-1931 & 1935-1942).. Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. 

TembangCianjuran terbagi dalam empat wanda yaitu : Wanda Papantunan, Wanda Jejemplangan, Wanda Dedegungan dan Wanda Rarancagan. 

                           Ceurik Rahwana - gandrung gunung - Mamah Dasimah - Didin Bajuri


                                   

No comments:

Post a Comment